Kamis, 24 Maret 2011

Puasa Dalam Agama Buddha

Kata puasa di telinga kita mungkin identik dengan agama Islam, namun ternyata ada juga puasa dalam agama Buddha. Mungkin kita jarang mendengarnya tapi puasa dalam agama Buddha memang ada. Nah, ini beberapa informasi tentang "puasa" versi agama Buddha..
Semoga bermanfaat bagi kita semua..


Dalam agama Buddha, juga dikenal sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai "puasa". Namun, hendaknya jangan ditafsirkan sebagai puasa tidak makan dan minum selama sekitar 15 jam seperti dalam agama Islam.

Puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut Uposatha. Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap(bulan purnama) atau yang lebih dikenal chue it dan cap go. Namun ada yang melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.

Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu (dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila. Uposatha-sila(aturan yang berjumlah delapan) antara lain:

1. Tidak membunuh
Artinya adalah tidak melakukan pembunuhan atau melukai makhluk hidup. Makhluk hidup di sini adalah manusia dan binatang. Tumbuhan tidak termasuk)

2. Tidak mencuri
Artinya adalah tidak melakukan perbuatan yang mengambil barang tanpa seizin pemiliknya.

3. Tidak melakukan hubungan seks
Artinya adalah tidak melakukan hubungan badan baik dengan apa pun juga, dan tidak melakukan kegiatan seks sendiri(masturbasi). Intinya adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang memuaskan diri secara seksual.

4. Tidak berbohong
Pengertian ini jelas. Artinya tidak berbohong sehingga merugikan orang lain secara langsung atau pun tidak langsung dengan niat buruk.

5. Tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang)
Artinya jelas. Jika seseorang mengkonsumsi untuk tujuan medis dalam jumlah kecil dan tidak hilang kesadaran, maka tidak terjadi pelanggaran.

6. Tidak makan pada waktu yang salah
Pengertian di sini adalah bahwa seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari hingga subuh/dinihari. Patokannya adalah untuk tengah hari, ketika matahari tepat diatas kepala atau pukul dua belas. dan untuk subuh/dinihari adalah ketika tanpa lampu, seseorang dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit.
Jadi seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada waktu dinihari/subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12).

7. Tidak bernyanyi, menari atau menonton hiburan. Juga tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum.
Pengertiannya jelas dan untuk mendengarkan musik pun tidak diperbolehkan. Jika musik atau kosmetik digunakan untuk terapi atau untuk menolak penyakit, maka seseorang tidak menjadi melanggar aturan.

8. Tidak duduk atau berbaring di tempat duduk atau tempat duduk yang besar dan tinggi
Pengertiannya di sini adalah tidak tidur di atas tempat yang tingginya lebih dari 20 inci termasuk juga duduk. Tidur atau duduk di tempat yang mewah juga tidak diperbolehkan.

Jadi puasa (uposatha) seorang umat Buddha dinyatakan sah, apabila ia mematuhi ke-8 larangan tersebut seperti yang tertulis di atas. Jika salah satu larangan tersebut dilanggar?baik sengaja atau tidak? berarti ia puasanya (uposatha-nya) tidak sempurna.

Ada satu jenis kegiatan lagi dalam agama Buddha yang bisa disebut ?puasa?, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti tidak makan makanan bernyawa (dalam hal ini daging). Atau bisa dikatakan hanya memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan vegetaris ini, umat Buddha yang vegetarian ini tidak makan daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk telur atau susu, ada vegetarian yang masih makan, ada yang tidak. Namun vegetarian murni tidak makan telur atau pun susu. Dalam melaksanakan puasa ini (vegetaris), seseorang boleh makan kapan pun dalam 24 jam, namun hanya makan sayur-sayuran, tidak boleh daging dan bawang-bawangan. Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib bagi umat Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya tanggal 1 dan 15 berdasar kalender lunar (berdasar revolusi bulan), ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.

Kesimpulannya dalam agama Buddha, terdapat puasa namun definisinya berbeda. Puasa jenis I, disebut Uposatha intinya tidak makan dari setelah siang hari sampai subuh. Puasa jenis II, disebut vegetaris intinya tidak makan makanan yang berasal dari makhluk hidup (dalam hal ini daging).


Sumber: http://wihara.com/forum/seputar-buddhisme/4236-puasa-dalam-agama-buddha.html

Cara Berdiskusi yang Baik menurut Sang Buddha

"Para bhikkhu, ada 3 topik berikut untuk berdiskusi. Apakah tiga itu?

"Seseorang bisa berkata tentang masa lampau, dengan berkata, 'Demikianlah pada masa lampau.' Seseorang bisa berkata tentang masa depan. dengan berkata, 'Demikianlah yang akan terjadi dimasa depan.' Atau seseorang bisa berkata tentang masa kini, dengan berkata, 'Demikianlah masa kini.'

"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui cocok atau tidak cocok untuk berdiskusi. Jika seseorang, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, tidak memberikan sebuah jawaban langsung untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban langsung, tidak memberikan sebuah jawaban analitis (yang layak) untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban analitis, tidak memberikan sebuah pertanyaan balasan untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah pertanyaan balasan, tidak mengesampingkan pertanyaan yang perlu dikesampingkan, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang tidak cocok untuk berdiskusi. Tetapi jika dia, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, memberikan sebuah jawaban langsung untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban langsung, memberikan sebuah jawaban analitis untuk sebuah pertanyaan yang membuthkan sebuah jawaban analitis, memberikan sebuah pertanyaan balasan untuk pertanyaan yang membutuhkan sebuah pertanyaan balasan, dan mengesampingkan sebuah pertanyaan yang perlu dikesampingkan, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang cocok untuk berdiskusi.

"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui cocok atau tidak cocok untuk berdiskusi. Jika seseorang, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, tidak memperhatikan apa yang mungkin dan tidak mungkin, tidak sesuai dengan asumsi-asumsi yang disepakati, tidak sesuai dengan ajaran-ajaran yang diketahui kebenarannya,[1] tidak sesuai dengan prosedur standar, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang tidak cocok untuk berdiskusi. Tetapi jika seseorang, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, memperhatikan apa yang mungkin dan tidak mungkin, sesuai dengan asumsi-asumsi yang disepakati, sesuai dengan ajaran-ajaran yang diketahui kebenarannya, sesuai dengan prosedur standar, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang cocok untuk berdiskusi.

"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui cocok atau tidak cocok untuk berdiskusi. Jika seseorang, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, merendahkan [si penanya], mempermalukannya, mengoloknya, mengambil kesempatan dari kesalahan-kesalahan kecilnya, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang tidak cocok untuk berdiskusi. Tetapi jika seseorang, ketika ditanyakan sebuah pertanyaan, tidak merendahkan [si penanya], tidak mempermalukannya, tidak mengoloknya, tidak mengambil kesempatan dari kesalahan-kesalahan kecilnya, kemudian — dengan demikian — dia adalah orang yang cocok untuk berdiskusi.

"Para bhikkhu, melalui caranya berpartisipasi dalam sebuah diskusi seseorang dapat diketahui mendekati atau tidak mendekati. Seseorang yang mendengarkan mendekati; seseorang yang tidak mendengarkan tidak mendekati. Dengan mendekati, dia mengetahui dengan jelas kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya.[2] Dengan jelas mengetahui kualitasnya, memahami kualitasnya, meninggalkan kualitasnya, dan menyadari kualitasnya, dia menyentuh pelepasan benar. Untuk itulah guna dari diskusi, itulah guna dari mendengarkan nasehat, itulah guna dari mendekat, itulah guna dari mendengarkan: yaitu, pembebasan batin melalui tanpa kemelekatan.
Mereka yang berdiskusi ketika kemarahan, dogma, kesombongan, mengikuti apa yang bukan jalan mulia, saling mencari-cari kesalahan, bersenang dalam kata-kata yang salah diucapkan, tergelincir, terjatuh, terkalahkan. Para mulia tidak berkata dengan cara demikian.
Jika orang bijaksana, mengetahui waktu yang tepat, ingin berbicara, kemudian, kata-katanya baik dan masuk akal, mengikuti cara para bijaksana: Itulah apa yang dikatakan oleh mereka yang sudah tercerahkan, tanpa kemarahan atau kesombongan, dengan batin yang tidak lepas kendali, tanpa nada keras, tanpa dengki.
Tanpa iri mereka berkata berdasarkan pengetahuan benar. Mereka akan bersenang dalam kata-kata yang diucapkan dengan baik. dan tidak mengecilkan apa yang tidak. Mereka tidak mempelajari untuk mencari kesalahan, tidak mencari kesalahan-kesalahan kecil. tidak merendahkan, tidak mempermalukan, tidak berkata sembarangan.
Demi pengetahuan, demi [menginspirasi] keyakinan jernih, menasehati apa yang benar: Demikianlah para bijaksana memberikan nasehat, Demikianlah para bijaksana mendengarkan nasehat. Mengetahui ini, orang bijaksana seharusnya memberikan nasehat tanpa kesombongan."
Catatan kaki:

1. Bacaan aññaatavaada dengan edisi Burma. Sebuah terjemahan alternatif-nya adalah "Ajaran-ajaran mereka yang mengetahui."

2. Menurut kitab komentar, kualitas-kualitas ini adalah kebenaran mulia dari sang jalan, kebenaran mulia tentang dukkha, kebenaran mulia tentang sebab dukkha, dan kebenaran mulia tentang berhentinya dukkha.

***
klik sini gan untuk sumbernya:
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5207244
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150358878610384

Rabu, 23 Maret 2011

DHAMMAPADA XXVI, 29-31

Kisah Maha Moggallana Thera


DHAMMAPADA XXVI, 29
 
        Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha tentang Maha Moggallana Thera hal yang sama yang telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi. Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha Moggallana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan.

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut:

Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

***


 Kisah Samanera Revata


 DHAMMAPADA XXVI, 30
 
        Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu".

        Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, murid-Ku Revata telah memusnahkan semua nafsu keinginan; ia telah melampaui kebaikan maupun kejahatan".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 412 berikut:

Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

***

Kisah Candabha Thera


 DHAMMAPADA XXVI, 31
 
        Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu, membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha.

        Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang yang membayar seratus atau seribu yang boleh menyentuhnya. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara kota dan Vihara Jetavana.

        Kepada para pengikut Sang Buddha yang sedang berjalan ke Vihara Jetavana, mereka berkata, "Apa gunanya engkau pergi menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau? Tidak ada seorang pun yang sehebat Candabha. Seseorang yang menyentuhnya akan menjadi kaya; mengapa engkau tidak datang dan melihatnya?"

        Para pengikut itu kemudian berkata kepada para brahmana, "Hanya guru kami yang hebat; ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya".

        Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi ketika Candabha sedang bersama Sang Buddha, cincin cahaya itu hilang dengan sendirinya. Ketika Candabha dibawa jauh hilang dari pandangan Sang Buddha, cincin cahaya itu kembali lagi secara otomatis; cahaya itu hilang lagi ketika ia dibawa kembali ke hadapan Sang Buddha.

        Candabha kemudian meminta Sang Buddha untuk memberinya mantra (kata-kata bermakna) yang akan membuat cincin cahaya itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya akan diberikan kepada anggota pasamuan. Candabha memberitahu para brahmana bahwa ia akan mendapatkan mantra dari Sang Buddha dan setelah menguasai mantra tersebut ia akan menjadi manusia terbesar di seluruh Jambudipa. Sehingga para brahmana tersebut menunggu di luar vihara.

        Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk menggambarkan betapa menjijikkannya dan kotornya tubuh ini terdiri dari tiga puluh dua unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian arahat.

        Ketika para brahmana yang menunggu di luar vihara datang untuk menanyakan apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Candabha menjawab, "Engkau sebaiknya pulang kembali sekarang; karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu".

        Para bhikkhu, yang mendengarnya, pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Candabha dengan cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi seorang arahat".

        Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Candabha mengatakan yang sebenarnya; ia telah memusnahkan semua kekotoran batin".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 413 berikut:

Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

***



--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150366216050384

Cerita Angsa dan Kura-Kura

Ada sepasang Kura-Kura dan Angsa yang hidup di sebuah telaga yang bernama telaga Kumudawati. Telaga itu sangat indah serta banyak bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh di sana. Kura-kura yang jantan bernama Durbhuddhi dan yang betina bernama Katcapa. Angsa yang jantan bernama Cakrengga dan yang betina bernama Cakrenggi. Kedua pasang binatang itu sudah lama bersahabat.

Musim kemarau telah tiba, di telaga telah mulai mengering. Kedua angsa akan berpamitan dengan sahabatnya karena angsa tidak bisa hidup tanpa air, maka kami akan meninggalkan telaga Kumdawati ini menuju telaga Manasasaro di pegnungan Himalaya. Kura-kura tidak bisa melepaskan kepergian kedua sahabatnya itu.

Akhirnya kura-kura memutuskan untuk ikut bersama dengan angsa. Angsa kemudian mau mengajak kura-kura pergi bersama dengan dirinya yaitu dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu dan angsa yang akan memegang ujung-jungnya. Tetapi dengan persyaratan jangan lengah, janganlah sekali-kali berbicara dan jangan melihat di bawah atau jika ada orang yang bertanya jangan sekali menjawab. Kura-kura lalu berpegangan di tengah-tengah kayu dengan mulutnya, sedangkan kedua ujung-ujungnya dipegang oleh angsa.

Setelah tepat berada di tanah lapang Wila Jenggala ada sepasang anjing srigala yang berlindung di bawah pohon mangga yang jantan bernama Si Nohan dan yang betina Si Bayan. Srigala betina melihat ke atas dilihatnya angsa terbang membawa sepasang kura-kura lalu Srigala berkata pada suaminya, ayah cobalah lihat ke atas betapa aneh angsa terbang membawa sepasang kura-kura. Srigala jantan menjawab itu bukan kura-kura namun itu adalah kotoran sapi.

Demikian omongan tersebut didengar oleh kura-kura, mendengar kura-kura dibilang kotoran sapi oleh Srigala, kura-kura lalu marah dan melepaskan gigitannya pada kayu dan akhirnya kura-kura itu jatuh dan dimakan oleh srigala. Angsa tinggal dengan perasaan kecewa dan menyayangkan kenapa kura-kura tidak mau mendengarkan nasehatnya.

***
Sebagaimana cerita relief pada Candi Mendut dan Sojiwan.
Sumber:

11 Buddha Rupang Paling Terkenal di Dunia

11. Borobudur Buddha Statues
Patung-patung Buddha di Borobudur adalah maha karya dari para seniman kuno Indonesia. Semua patung Buddha disini berada dalam posisi duduk tetapi dengan sikap tangan (mudra) yang berbeda. Dari awalnya terdapat 504 patung Buddha, 300 diantaranya rusak dan 43 hilang (sejak penemuan kembali candi ini, banyak kolektor gelap yang mencuri kepala patung Buddha).


borobudur, indonesia

10. Hussain Sagar Buddha Statue
Patung Buddha ini terletak di tengah-tengah sebuah danau buatan di kota Hyderabad, India. Patung ini berdiri setinggi 17 meter dan seberat 320 ton. Ini merupakan patung monolitik terbesar di India, yang dipahat oleh para seniman hanya dari sebongkah batu besar. Tragisnya, pada saat pemasangan patung Buddha pada tahun 1992, patung ini jatuh ke dalam danau dan menyebabkan kematian 8 orang pekerja. Pemerintah kemudian memperbaiki patung dan sekarang menjadi salah satu daya tarik wisatawan di kota Hyderabad.


 hussain sagar, india

9. Tian Tan Buddha Statue
Buddha Tian Tan terletak di Pulau Lantau, Hong Kong. Terbuat dari perunggu dan selesai tahun 1993. Patung ini merupakan daya tarik utama dari Vihara Po Lin, yang mensimbolkan harmonisasi antara manusia, alam, masyarakat dan agama. Patung ini dinamakan Tian Tan karena bagian bawahnya merupakan replika dari Kuil Tian Tan (Kuil Surga) di Beijing. Patung dengan sikap duduk ini memiliki tinggi 34 meter dan mengambil postur yang melambangkan ketenangan.

 
 tian tan, hong kong

8. Monywa Buddha
Monywa adalah sebuah kota di tengah Myanmar yang terletak di pinggiran Sungai Chindwin. Disini anda dapat melihat Monywa Buddha – patung Buddha berbaring terbesar di dunia. Patung ini memiliki total panjang 90 meter. Kepala patung ini memiliki tinggi 60 kaki. Patung Buddha Monywa ini dibuat tahun 1991 dan berlubang didalamnya, sehingga pengunjung bisa masuk ke dalam.
Terdapat pula sebuah patung Buddha berdiri yang dibangun di atas Bukit Po Kaung. Dengan tinggi 132 meter, patung ini menjadi salah satu patung Buddha tertinggi di dunia.

 
 monywa, myanmar

7. Ayutthaya Buddha Head
Kota Ayutthaya di Thailand memiliki salah satu patung Buddha yang tidak biasa di dunia. Di antara reruntuhan Wat Mahathat (Vihara Relik Agung) terdapat sebuah patung yang seluruh badannya telah lenyap oleh waktu dan hanya tersisa kepalanya saja di antara belitan pepohonan. Ini adalah salah satu patung yang sangat indah tercipta oleh berlalunya waktu.

 
 ayutthaya, thailand

6. Gal Viharaya
Terletak di Sri Lanka, Polonnaruwa merupakan situs salah satu patung Buddha yang paling terkenal di dunia – Gal Viharaya. Vihara batu ini dibuat oleh Parakramabahu Agung di abad 12 Masehi. Di tengah-tengah vihara terdapat 4 patung Buddha berukuran besar. Di antara ke-4 patung Buddha ini adalah sebuah patung Buddha berbaring sepanjang 14 meter dan sebuah patung Buddha berdiri setinggi 7 meter.

 
 gal viharaya, sri lanka

5. Ushiku Daibutsu
Ushiku Daibutsu terletak di kota Ushiku, Jepang. Selesai tahun 1995, patung ini merupakan salah satu patung tertinggi di dunia, bediri setinggi 120 meter termasuk 10 meter pondasi dan 10 meter platform berbentuk teratai.

 
 ushiku, jepang

4. Temple of the Reclining Buddha
Terletak di Bangkok, Wat Pho terkenal dengan patung Buddha berbaringnya yang besar. Vihara ini merupakan salah satu vihara terbesar dan tertua di Bangkok, dibangun sekitar 200 tahun setelah Bangkok menjadi ibukota Thailand.

 
 wat pho, thailand

3. Great Buddha of Kamakura
Buddha Agung Kamakura atau dalam bahasa Jepang biasa disebut Daibutsu Kamakura merupakan sebuah patung perunggu monumental dari Amida Buddha (Buddha Amitabha) di kota Kamakura, Jepang. Patung ini berdiri dengan damai di atas tanah Kotokuin yang merupakan sebuah kuil buddhis aliran Tanah Suci, dan patung Buddha ini menjadi salah satu ikon penting dalam pariwisata dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.
Patung setinggi 13,35 meter dan berat 93 ton ini menjadi patung Buddha monumental terbesar kedua di Jepang (yakni setelah patung Buddha di Todaiji, Nara) dan bagi banyak orang, merupakan patung yang paling impresif.
Patung ini dibuat pada tahun 1252 di Kamakura dan pada mulanya berada di dalam kuil, sepertihalnya patung Buddha di Nara. Tetapi karena sebuah tsunami besar yang menghanyutkan semua bangunan dari kayu pada akhir abad ke-15, patung ini tetap dibiarkan berada di alam terbuka.
Patung Buddha Agung ini duduk dengan posisi teratai dan dengan tangan membentuk Dhyani Mudra, pola yang melambangkan konsentrasi/meditasi. Dengan sebuah ekspresi yang damai dan sebuah pemandangan bukit di belakangnya, Daibutsu jelas menawarkan sebuah pemandangan yang spektakular.
Daibutsu sendiri adalah Amida Buddha, yang merupakan fokus dalam ajaran Buddhisme Tanah Suci. Berasal dari Cina, aliran ini memperoleh banyak pengikut di Jepang sejak abad 12 Masehi dan masih sangat popular hingga saat ini. Inti ajarannya adalah seputar rasa bhakti terhadap Amida Buddha, mengekspresikannya melalui mantra-mantra dan dengan setulus hati, seseorang akan pergi menuju Tanah Suci atau “Surga Barat” setelah kematian – sebuah keadaan yang mana akan mempermudah pencapaian Nirvana.

 
 kamakura, jepang

2. Temple of the Emerald Buddha
Vihara terkenal lain di Bangkok adalah Wat Phra Kaew, Vihara Buddha Zamrud. Di dalam vihara ini terdapat patung Buddha Zamrud, salah satu patung Buddha tertua dan paling terkenal di dunia.
Menurut legenda, patung ini dibuat di India sekitar 43 SM di kota Pataliputra dan berada disana selama 300 tahun. Pada abad ke-4 M, patung ini dibawa ke Sri Lanka oleh para biksu buddhis untuk menyelamatkannya dari peperangan yang terjadi. Kemudian patung ini dibawa ke Thailand dan dipindahkan ke Wat Phra Kaew di tahun 1779.

 
 emerald buddha, thailand

1. Leshan Giant Buddha
Patung Buddha raksasa Leshan adalah sebuah maha karya umat manusia. Patung Buddha dipahatkan di sebuah lembah yang langsung menghadap ke laut di Sichuan, bagian barat Cina. Mulai dibuat selama Dinasti Tang tahun 713, patung ini baru selesai tahun 803 (90 tahun) dan melibatkan usaha dari ribuan seniman dan pemahat. Sebagai salah satu patung terbesar di dunia, patung ini juga disebut-sebut dalam puisi, lagu dan cerita.



leshan, cina

sumber:
http://shambhalaguardian.wordpress.com/2011/02/10/11-buddha-rupang-paling-terkenal-di-dunia/
 http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150404680400384

Selasa, 22 Maret 2011

Kisah Buddhis: Mencari Sepotong Kebenaran

Suatu hari seorang pemuda buddhis sedang dalam perjalanan pulang tiba di sebuah tepi sungai yang luas. Menatap putus asa pada hambatan besar dihadapannya, ia merenung selama berjam-jam hanya memikirkan cara bagaimana untuk menyeberangi sungai lebar itu. Tepat ketika ia hendak menyerah melanjutkan perjalanannya, ia melihat seorang guru besar berada di seberang sungai. Si pemuda buddhis itu berteriak kepada guru tersebut, "Oh guru bijaksana, bisakah kau katakan padaku bagaimana cara berada di sisi lain dari sungai ini"?

Guru itu merenungkan sejenak melihat ke atas dan ke bawah sungai dan berteriak kembali, "Anakku, engkau telah berada di seberang sungai".

Sumber : Facebook Kisah Buddhis

Sabtu, 19 Maret 2011

Kisah Seekor Anak Burung Puyuh

Sebuah cerita tentang makhluk yang terhindar dari bahaya maut, karena menjalankan Ahimsa

Pada suatu ketika Sang Boodhisatva turun kedunia ini sebagai seekor anak burung puyuh. Ia tinggal bersama-sama dengan saudara-saudaranya di sebuah sarang di dalam semak-semak. Saudara-saudaranya bertambah hari bertambah gemuk dan kuat, sebaliknya ia sendiri tidak menjadi besar das sayapnya sangat lemah. Apa yang menyebabkan demikian menyedihkan dirinya?

Sebabnya adalah ia merupakan penjelmaan dari Sang Bodhisatva. Dan karena ia akan menjadi Buddha di kemudian hari, maka ia mempelajari AJARAN SUCI dengan sepenuh hati. Dengan sendirinya ia mentaati segala ketentuan-ketentuan dan perintah-perintah dari Ahimsa. Ini berarti, ia tidak makan apa yang diberikan ayah, ibu dan saudara-saudaranya yang berupa cacing, kumbang, dan binatang-binatang kecil lainnya.

Pada suatu hari timbul kebakaran hebat dalam hutandi dekat tempat tinggal keluarga burung puyuh itu. Semua burung dan penghuni hutan itu sangat terkejut dan dalam keadaan kacau-balau mereka melarikan diri, agar terhindar dari bahaya maut. Hanya anak burung puyuh itu yang tidak dapat melarikan diri karena sayapnya masih lemah.

Nyala api semakin bertambah besar menjilat-jilat kian kemari, membakar pohon-pohon, semak-semak dan tempat tinggal binatang-binatang hutan yang lain. Ayah, Ibu dan saudara-saudaranya sudah terbang semua meninggalkannya seorang diri di sarang.

Sementara itu apai terus menyala-nyala dan berambah besar. Ketika nyala api sudah sedemikian dekatnya, sehingga sarangnya hampir terjilat, ia mencicit-cict kepada dewa Api, “O Agni, dewa api jaya! Tuanku tentu melihat, bahwa aku ini terlampau kecil dan kurus untuk menjadi santapanmu tamu agung sebagai tuanku. Di sini tidak ada makanan untuk tuanku, karena semua binatang-binatang telah lari meninggalkan tempat ini. Silahkan Tuanku pulang kembali!”

Dan alangkah ajaibnya! Walaupun angin meniup dengan kerasnya, namun karena kata-kata hakiki dari burung puyuh kecil itu, tiba-tiba api berhenti mengganas dan padam. Dan terhindarlah ia dari bahaya maut.

Apakah sebabnya maka ia secara ajaib dapat tertolong dari bahaya kebakaran hutan itu? Sebabnya ialah selama hidupnya ia telah menyelamatkan jiwa binatang yang lain, bagaimanapun kecil binatang-binatang itu. Ia berkeyakinan, bahwa setiap makhluk berhak unutk hidup. Dan sejak itu, tiap terjadi kebakaran hutan di daerah itu akan padam dengan sendirinya setelah sampai di tempat yang ajaib itu.

Hubungan Dengan Sutta lain

Ahimsa yaitu bertekad untuk tidak menyakiti atau membunuh makhluk hidup lain, dan dengan melakukan ini tentu akan mendapatkan pahala yang besar.

Dhammapada Bab X Danda Vagga syair 142, yang berbunyi :

Walau digoda dengan cara bagaimanapun, tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.

Dhammapada Bab XXVI Brahmana Vagga syair 405, yang berbunyi :

Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.

Jumat, 11 Maret 2011

Tsunami dan Pray for Japan Jadi Trending Topic Twitter


Lokasi gempa Jepang (11/3/2011) berkekuatan 8,9 sr.
Gempa berkekuatan 8,8 skala Richter yang menggoyang Jepang hari ini memicu tsunami di beberapa kota di Jepang. Topik tsunami tersebut menjadi trending topic di Twitter.

Topik #prayforjapan, #tsunami, Sendai Airport, NHK World, Watching CNN, Tokyo Disneyland, dan Sendai Airport menjadi terhangat di situs microblogging Twitter. Semua topik tersebut terkait dengan gempa dan tsunami di Jepang.

Jepang dilanda gempa bumi berkekuatan 8,8 SR di lepas pantai timur laut Jumat, yang memicu tsunami setinggi 4 meter. Gelombang tsunami itu menghanyutkan mobil dan merobek bangunan di sepanjang pantai di dekat pusat gempa.

Gempa yang melanda pukul 02:46 itu diikuti oleh serangkaian gempa susulan, termasuk satu gempa 7.4 SR sekitar 30 menit kemudian. US Geological Survey memperbarui kekuatan gempa pertama yang berkekuatan 8,8 SR.

Akibat gempa tersebut, peringatan tsunami juga sampai di Indonesia. Menurut situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, tsunami diperkirakan sampai di Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara pada pukul 18.00 WIB.

Selasa, 08 Maret 2011

ARAKA - JATAKA (Kisah Mengenai Welas Asih)

Pada suatu kesempatan Sang Bhagava berkata demikian pada Sangha, "Para Bhikkhu, kemurahan hati (welas asih) yang dipraktekan dengan segenap pikiran, dimeditasikan, diperbesar, dijadikan alat kemajuan, dijadikan obyek tunggal, dilatih, dan dimulai dengan baik dapat diharapkan untuk menghasilkan sebelas berkah.

"Apakah kesebelasan berkah itu? Ia tidur dengan gembira dan bangun dengan gembira; ia tidak mengalami mimpi buruk; orang-orang menyukainya; para makhluk halus menjaganya; api, racun, dan pedang tidak mendekatinya; mudah diingat; pembawaannya menjadi tenang; ia mati tanpa perasaan takut; tanpa memerlukan kebijaksanaan lebih lanjut ia mencapai surga Brahma. Kemurahan hati, para bhikkhu, yang dilakukan tanpa mengenal kehendak" dan seterusnya. "Dapat diharapkan untuk menghasilkan sebelas berkah. Sambil memuji kemurahan hati yang berisi sebelas berkah ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya bermurah hati kepada semua makhluk, disuruh atau tidak, ia seharusnya menjadi sahabat orang yang ramah, juga menjadi sahabat orang yang tidak ramah, dan menjadi sahabat orang yang acuh tak acuh. Jadi kepada semua tanpa perbedaan, disuruh atau tidak, di harus bermurah hati; ia harus bersimpati terhadap kesenangan atau kesusuhan dan melatih kesabaran; ia harus melakukan pekerjaanya dengan empat kebaikan. Dengan berbuat demikian ia akan sampai ke surga Brahma walaupun tanpa jalan atau buah. Para bijaksana dengan mengembangkan welas asih selama tujuh tahun, telah berdiam di surga Brahma selama tujuh jaman, masing-masing dengan satu masa berkembang dan satu masa menyusut "] Dan ia menceritakan kepada mereka sebuah kisah di masa lalu.

Pada suatu ketika, di zaman yang lalu, Sang Bodhisattva terlahir di keluarga Brahmin. Setelah dewasa, ia melenyapkan napsunya dan menjalani kehidupan religius,serta mencapai empat kebaikan. Ia bernama Araka, dan menjadi seorang guru yang tinggal di daerah Himalaya dengan pengikut yang banyak. Ia memberi nasehat kepada para bijaksana pengikutnya, "Seorang yang mengasingkan diri (pertapa) harus menunjukan welah asih, bersimpati (turut merasakan) dalam kesenangan maupun kesusuhan, dan penuh kesabaran karena rasa welas asih yang dicapai dengan penuh tekad mempersiapkannya menuju surga Brahma. " Dan untuk menjelaskan berkah dari welas asih, ia melantunkan sajak berikut ini:

"Hati yang memiliki welas asih tanpa batas kepada semua yang terlahir.

Di surga, di alam bawah, dan di bumi.

Penuh dengan rasa welas asih tak terbatas, kemurahan hati tanpa batas.

Di dalam hati yang demikian takkan ada perasaan sempit atau terkurung."


Demikianlah uraian Sang Bodhisattva kepada para muridnya mengenai pengalaman welas asih dan berkahnya. Dan ia seketika terlahir di surga Brahma, selama tujuh zaman, masing-masing dengan masa berkembang dan menyusut, ia tidak kembali lagi ke dunia ini. Setelah selesai berkhotbah, Sang Bhagava mengindentifikasi kelahiran tersebut, "Para bijaksana pada saat itu sekarang adalah para pengikut Buddha;dan saya sendiri adalah Sang Guru Araka."
"Sampah menjadi Emas, Emas menjadi Cinta Kasih"

"Orang yang mempunyai kedua tangan tetapi malas, mabuk-mabukan, merugikan orang lain tidak lebih baik dari orang yang tidak mempunyai tangan"

"Untuk menghapus malapetaka di dunia, harus dimulai dari memperbaiki kondisi hati manusia."

Kisah Radha Jataka


Cerita ini diceritakan Sang Buddha ketika berada di Jetavana berkenaan dengan seorang isteri perumah tangga yang keras kepala. Kejadian ini seperti penggalan cerita diatas akan dibicarakan di indriya Jataka.

Sang Buddha berbicara demikian kepada Ananda "Adalah tidak mungkin untuk menjaga, melindungi wanita;tidak ada penjaga yang dapat menjaga agar wanita tetap berada dijalan yang benar. Kamu sendiri menemukan di beberapa kehidupan sebelumnya semua perlindunganmu itu tidak ada artinya; dan bagaimana kamu sekarang mengharapkan mendapatkan keberuntungan?".

Demikian yang saya dengar. Beliau menceritakan kisah yang terjadi pada kehidupan yang lampau.

Pada suatu waktu yang lampau ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta lahir sebagai seekor burung beo. Seorang Brahmin di kota kasi seperti ayah baginya dan saudaranya, memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Potthapada adalah nama Bodhisatta dan Radha adalah nama saudaranya.

Sekarang Brahmin memiliki seorang isteri, tetapi sangat buruk perilakunya. Setiap akan meninggalkan rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya, ia berkata kepada kedua saudara tersebut "Jika, ibu kalian, isteriku, melakukan hal-hal yang tidak berguna, cegahlah ia". "akan kami lakukan ayah", kata Bodhisatta "Jika kami bisa; tetapi jika kami tidak bisa, kami tidak bisa berbuat apa-apa'.

Dengan demikian setelah ia mempercayakan isterinya pada pengawasan burung beonya, Brahmin tersebut pergi untuk mengerjakan urusannya. Setiap hari sejak itu isterinya melakukan tindakan yang tidak senonoh; sering melakukan perselingkuhan baik didalam maupun diluar rumah. Melihat hal itu, Radha berkata kepada Boddhisatta "kakak, salah satu dari perintah ayah adalah mencegah tindakan tidak senonoh dari isterinya dan sekarang ia tidak melakukan apa-apa tetapi menjual dirinya sendiri. Mari kita hentikan ia kakak" kata Bodhisatta, usulmu adalah usul yang bodoh kamu akan menghentikan tindakan-tindakannya sebelum itu tentu saja ia akan menyingkirkanmu. Jadi itu adalah tindakan yang sia-sia.

Dan demikian yang saya dengar ia mengucapkan satu syair berikut ini:
Berapa banyak malam berlalu? Rencanamu
Adalah percuma. Sia-sia sebagai seorang isteri cintanya bisa diobral
Nafsunya; dan sebagai seorang isteri cintanya tidak cukup hanya satu.
Karena itulah Bodhiatta tidak mengizinkan saudaranya untuk mencegah tindakan isteri Brahmin, yang selalu keluyuran, bicara mengenai isi hatinya selama suaminya tidak ada. Pada saat pulang, Brahmin menanyai Potthapada tentang tingkah laku isterinya pada saat ia tidak ada dirumah dan Bodhisatta langsung menceritakan semuanya.
"Sekarang, ayah!! Katanya "Apa yang bisa engkau perbuat terhadap wanita yang sangat jahat itu?". Dan ia menambahkan,_"Ayahu, sekarang, setelah saya melaporkan semua tentang ibu jahat saya, kami tidak bisa tinggal lama lagi di sini". Seperti yang saya dengar, ia bersimpuh dikaki Brahmin tersebut dan pergi terbang bersama Radha menuju ke hutan.

Akhir khotbahnya, Sang Buddha mengajarkan empat kebenaran, yang pada akhir Ananda mengerti tentang seorang isteri yang memiliki keinginan yang sangat kuat akan keinginan-keinginan dunia adaklah hal yang tidak bisa dipungkiri merupakan hasil dari jalan kecil pertama.
"Suami dan isteri ini" kata Sang Buddha "adalah Brahmin dan isterinya pada waktu itu, Ananda adalah Radha dan saya sendiri adalah Potthapada.

Dua Ekor Kera Bersaudara

Chullanandiya Jataka Jataka Pali No.222

Suatu ketika, Bodhisattva terlahir di lingkungan Himalaya sebagai seekor kera bernama Nandaka. Adiknya bernama Chullanandaka. Mereka berdua memimpin sekelompok kera yang terdiri dari 84.000 ekor kera. Mereka juga mempunyai ibu tua yang telah buta untuk dirawat.

Pada suatu saat, ketika mereka sedang menikmati buah-buahan di hutan tanpa terasa mereka telah jauh dari tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka mengirimkan makanan kepada ibunya melalui teman-temannya. Namun, kiriman makanan itu jarang disampaikan kepada ibunya. Tersiksa karena kelaparan, sang ibu jatuh sakit.
Ketika pulang, mereka sangat terkejut dengan keadaan ibunya yang sakit parah.
Selanjutnya, ketika mereka mengetahui bahwa buah-buahan yang dikirimkan melalui kawan-kawannya tidak diterima oleh sang ibu, mereka kemudian meninggalkan kelompoknya dan tinggal bersama ibunya di sebatang pohon banyan.

Pada suatu hari datanglah seorang brahmana yang jahat masuk ke dalam hutan itu. Brahmana ini telah dikeluarkan dari sekolah terkenal di Taxila dan telah meninggalkan guru yang paling terkenal yaitu Parasariya. Brahmana ini telah alih professi menjadi seorang pemburu dan pembunuh.

Melihat seorang pemburu datang mendekati, kedua kera bersaudara itu segera bersembunyi di belakang dedaunan. Namun, sang induk kera terlambat menyembunyikan diri. Kemudian, sang pemburu menarik busur untuk membunuhnya. Nandaka, si kera sulung melompat di depan pemburu dan memohonnya untuk membebaskan sang ibu dari kematian dan menjadikan dirinya sebagai gantinya. Si pemburu sepakat dan membunuh Nandaka.

Akan tetapi, sang pemburu tidak menaati janjinya dan sekali lagi ia mengarahkan anak panahnya kepada induk kera. Kali ini, Chullanandiya, si kera bungsu segera melompat di hadapan sang pemburu dan memohon kebebasan induknya. Ia juga bersedia dibunuh sebagai ganti kehidupan ibunya. Sang pemburu sekali lagi menyetujuinya. Karena itu, ia membunuh si kera bungsu.

Namun, ia tetap juga melanggar janjinya dengan membunuh sang induk kera. Ia mencabut anak panah ketiga dan mengarahkannya ke induk kera yang telah buta matanya tersebut. Ia kemudian mengumpulkan ketiga jasad kera dan dengan bahagia dibawanya pulang. Selama perjalanan ia merasa bahagia karena berpikir bahwa ia telah dapat memberikan keluarganya tiga jasad kera dalam satu hari.

Ketika ia akan tiba di rumah, ia mendengar berita bahwa rumahnya telah disambar petir dan seluruh anggota keluarganya hancur. Kehilangan seluruh anggota keluarganya membuatnya sedih luar biasa dan berubah pikiran. Ia melemparkan pakaiannya dan berlari menuju ke rumah dengan dua tangan terbuka seolah akan memeluk anak dan istrinya. Ketika ia tiba di rumah dan mencari anggota keluarganya di antara puing-puing, kepalanya kejatuhan tiang bambu rumah yang sedang terbakar. Dikatakan oleh para saksi mata bahwa ia telah hilang dalam kepulan asap dan api yang timbul dari neraka bersamaan dengan terbukanya bumi untuk menelan tubuhnya. Para saksi mata juga mendengar bahwa pria yang sekarat itu mengulang pelajaran yang telah diberikan oleh guru tuanya di Taxila dengan menyebutkan kalimat berikut ini:

Sekarang saya teringat akan ajaran guru saya,
Dan sekarang saya mengerti maksudnya,
Ketika ia mengajarkan padaku untuk berhati-hati;
Dan jangan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penyesalan.

(Keterangan:
Pada waktu itu Nandiya adalah Bodhisattva, Parasariya adalah Sariputta, induk kera adalah Gotami; Chullanandiya adalah Ananda dan Devadatta adalah si pemburu)
Demikianlah salah satu kisah Jataka yang menguraikan tokoh-tokoh penting di sekitar Bodhisattva di kehidupan yang lampau maupun ketika Beliau terlahir sebagai Buddha Gotama di kehidupan yang terakhirnya.

Kisah Buddha Menaklukan Ular Kobra

Di tiga tempat sepanjang sungai Neranjara tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Pertama dalah yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sugai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Kedua adalah Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.

Pada suatu hari Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Buddha harus memperlihatkan bermacam-macam kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa ang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut:

"Kalau anda tidak keberatan, Kassapa, aku ingin bermalam di pondokmu."
Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan anda bermalam di pondokku. Tetapi anda harus tahu, bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku kuatir anda akan celaka," jawab Uruvela Kassapa.

"O, tidak apa-apa. Kalau anda tidak keberatan aku akan bermalam di pondokmu." "Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga anda selamat." Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.

Waktu tengah malam benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Buddha ternyata sia-sia saja. Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan Cinta Kasih (Metta) dan badanNya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.

Esok paginya Uruvela Kassapa datang menjenguk Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Buddha sedang bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya; "Apakah Buddha tidak diganggu oleh ular kobra? "Tidak, ular itu ada di sini," jawab Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menrima makanan. Maka, keluarlah ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Buddha menahannya dan berkata bahwa Buddha mempunyai kemampuan menjinakkan ular kobra tersebut.

Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan yang lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Tempat dimana Buddha berdiri dan berjalan, air "membelah" membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Buddha tidak basah terkena air.

Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Buddha dan ia juga tahu, bahwa ia belum mencapai kesucian Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Akhirnya Uruvela Kassapa dan lima ratus muridnya menjadi pengikut Buddha dan membuang semua peralatan pemujaan api mereka. Hal ini juga diikuti oleh kedua saudara Uruvela Kassapa yaitu Nadi Kassapa dan Gaya Kassapa beserta murid-muridnya menjadi pengikut Buddha.

Senin, 07 Maret 2011

Burung Merak Yang Menari (Kebanggaan dan Kerendahan Hati)

Suatu ketika zaman dahulu kala, binatang berkaki empat menjadikan seekor singa sebagai raja mereka. Ada seekor ikan raksasa yang mengembara di lautan dan ikan-ikan menjadikannya sebagai raja mereka. Para burung tertarik pada keindahan, demikianlah mereka memilih Angsa Emas sebagai raja mereka.

Raja Angsa Emas memiliki anak yang cantik. Ketika anaknya masih kecil, ia mengabulkan satu buah permintaan untuknya. Anaknya berkeinginan, ketika ia cukup besar, ia dapat memilih suaminya sendiri.

Ketika anaknya beranjak dewasa, Raja Angsa Emas mengundang semua burung yang berada di Gunung Himalaya yang maha besar di Asia Tengah untuk berkumpul. Maksudnya adalah untuk menemukan suami yang pantas bagi anak gadisnya. Burung-burung datang dari berbagai jarak yang jauh, bahkan dari Tibet yang tinggi. Mereka adalah para soang (angsa peliharaan), angsa, elang, burung pipit, burung kolibri, burung tekukur, burung hantu dan banyak burung-burung jenis lainnya.

Pertemuan tersebut diadakan di atas lempengan bebatuan yang tinggi, di lahan hijau yang indah di Nepal. Raja Angsa Emas mengatakan kepada anak gadis kesayangannya untuk memilih suami mana saja yang ia inginkan.
Ia menyaksikan banyak jenis burung. Matanya tertuju pada burung merak yang berleher hijau dengan kilauan cahaya dan bulu ekor yang berjuntai sangat indah. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Burung ini, si merak, akan menjadi suamiku.”

Mendengar bahwa si merak sebagai yang beruntung, semua burung lainnya mengerumuni si merak untuk mengucapkan selamat padanya. Mereka berkata, “Meskipun di antara begitu banyak jenis burung yang indah, putri Angsa Emas telah memilihmu. Kami mengucapkan selamat atas keberuntunganmu.”

Si burung merak menjadi sangat dipenuhi keangkuhan, ia mulai memamerkan bulu-bulunya yang penuh warna dalam sebuah tarian mengigal yang luar biasa. Ia mengibaskan bulu ekornya yang mengagumkan dan menari berputar untuk memamerkan ekornya yang indah. Menjadi begitu sombong, ia mengadahkan kepalanya ke angkasa dan melupakan segala kerendahan hati, dengan begitu ia juga mempertunjukkan bagian-bagiannya yang sangat pribadi agar semua melihat!

Para burung lainnya, khususnya yang muda, tertawa terkikih-kikih. Tetapi Raja Angsa Emas tidak merasa senang. Ia merasa malu menyaksikan pilihan putrinya berlaku semacam itu. Ia berpikir, “Merak ini tidak mempunyai naluri kemaluan untuk memberinya sopan santun yang pantas. Tidak juga ia memiliki ketakutan luar untuk mencegah prilakunya yang tidak senonoh. Lalu mengapa putriku harus dipermalukan oleh pasangan yang berpikir tanpa pertimbangan seperti itu?

Berdiri di tengah-tengah kumpulan besar pada burung, raja burung berkata, “Tuan merak, suaramu merdu, bulu-bulumu indah, lehermu bercahaya seperti sebuah batu permata, dan ekormu seperti kipas yang begitu indah. Tetapi kamu telah berdansa di sini layaknya seseorang yang tidak memiliki rasa malu ataupun takut sebagaimana mestinya. Aku tidak akan mengijinkan putriku yang tak berdosa ini untuk menikah dengan merak dungu seperti kamu!”

Kemudian Raja Angsa Emas menikahkan putrinya dengan keponakan raja. Burung merak yang dungu terbang jauh, kehilangan seorang calon istri yang cantik.

Pesan Moral : Jika membiarkan rasa bangga bersemayam di pikiranmu, kamu akan mulai bertindak layaknya seorang yang dungu.

Dikutip dari: http://selfyparkit.wordpress.com/2010/08/24/burung-merak-yang-menari-kebanggaan-dan-kerendahan-hati/

Cinta Sejati (Kumpulan Ceramah Ajahn Brahm)

Masalah dalam percintaan dimulai saat buyarnya fantasi, kekecewaan bisa sangat menyakiti kita. Pada cinta asmara, kita tidak benar-benar mencintai pasangan kita, kita hanya mencintai cara mereka yang membuat kita tersentuh.Yang kita cintai adalah "sengatan" yang kita rasakan dalam kehadiran mereka. Itulah sebabnya, ketika mereka tak ada, kita merindukannya dan meminta dikirimi sebotol... (lihat cerita sebelumnya). Seperti "sengatan" lainnya, tak berapa lama ini pun akan berlalu.

Cinta sejati adalah cinta yang tak mementingkan diri sendiri. Kita hanya peduli kepada orang lain. Kita berkata kepada mereka, "Pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," dan kita bersungguh-sungguh dengan perkataan itu. Kita hanya ingin mereka bahagia. Cinta sejati itu langka.

Banyak dari kita suka berpikir bahwa hubungan istimewa kita adalah cinta sejati, bukan cinta asmara. Berikut ini adalah sebuah tes untuk menilai cinta Anda termasukjenis yang mana.

Pikirkanlah pasangan Anda. Bayangkan wajahnya di benak Anda. Kenanglah hari Anda bertemu dengannya dan saat-saat indah bersamanya. Sekarang bayangkan Anda menerima sepucuk surat dari pasangan Anda. Surat itu memberitahukan Anda bahwa si dia telah jatuh hati kepada sahabat Anda, dan mereka telah pergi untuk hidup bersama. Bagaimana perasaan Anda?

Jika cinta Anda adalah cinta sejati, Anda akan begitu tergetar bahwa pasangan Anda telah menernukan orang yang lebih baik dari diri Anda, dan dia bahkan sekarang lebih berbahagia. Anda akan merasa gembira karena pasangan dan sahabat Anda dapat berbagi hidup bersama-sama. Anda akan sangat gembira karena mereka saling mencintai. Bukankah kebahagiaan pasangan Anda adalah hal yang terpenting dalam cinta sejati Anda?

Cinta sejati itu langka.

Seorang ratu tengah melihat keluar dari jendela istananya ke arah Buddha yang sedang berjalan untuk menerima dana makanan di kota. Raja melihatnya dan menjadi cemburu terhadap kesetiaan sang ratu kepada Sang Petapa Agung. Dia memarahi sang ratu dan menuntut untuk tahu siapa yang lebih dicintai sang ratu, Buddha atau suaminya. Sang ratu adalah pengikut Buddha yang setia, tetapi pada saat itu Anda harus sangat hati-hati jika suami Anda adalah seorang raja. Hilang kepala berarti hilang kepala betulan. Sang ratu ingin menjaga kepalanya tetap utuh, maka dia menjawab dengan kejujuran yang tak terbantahkan, "Saya mencintai diri saya lebih dari Anda semua!"

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Kisah Buddhis : Si Cacing

Ada sepenggal cerita indah mengenai dua bhikkhu yang tinggal bersama dalam sebuah biara selama bertahun-tahun; mereka adalah teman baik. Kemudian mereka meninggal dunia selang beberapa bulan satu sama lain. Salah satu dari mereka lahir kembali di alam surga, bhikkhu yang lain lahir kembali sebagai cacing dalam tumpukan kotoran. Yang berada di alam surga itu bersenang-senang, menikmati semua kesenangan surgawi. Tetapi ia mulai berpikir tentang temannya, "Aku ingin tahu di mana sahabat lama saya berada sekarang?"

Jadi ia memindai semua alam surga, tapi tidak bisa menemukan jejak temannya. Kemudian ia mengamati alam manusia, tetapi ia tidak bisa melihat jejak teman di sana. Jadi dia melihat ke dalam dunia hewan dan kemudian serangga. Akhirnya dia menemukannya, temannya d$ilahirkan kembali sebagai cacing dalam tumpukan kotoran ...

Wah Dia berpikir: "Aku akan membantu teman saya. Aku akan pergi ke sana ke tumpukan kotoran dan membawanya ke alam surgawi sehingga ia juga bisa menikmati kenikmatan surgawi dan kebahagiaan hidup di alam indah ini."

Jadi dia pergi ke tumpukan kotoran dan memanggil temannya. Dan cacing kecil merayap keluar dan berkata: "Siapa kau?"

"Saya teman Anda. Kita pernah menjadi biarawan bersama di kehidupan sebelumnya, dan Aku datang untuk membawa Anda ke alam surga di mana kehidupan itu indah dan bahagia."

Tetapi si cacing berkata: "Pergilah, pergi sana!"

"Tapi saya teman Anda, dan aku tinggal di alam surga," dan ia menggambarkan keindahan alam surga kepadanya. Tetapi cacing berkata: "Tidak terima kasih, saya sangat bahagia di sini di tumpukan kotoran. Harap pergi."

Kemudian dewa tersebut berpikir: "Yah kalau aku bisa menangkapnya dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri keindahan dan kebahagiaan di alam surga."

Jadi ia memegang si cacing dan mulai menarik-narik; dan semakin keras ia menarik, semakin keras si cacing melekat di tumpukan kotorannya.

Apakah Anda mendapatkan moral dari cerita ini? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita?


Oleh : Ajahn Brahm (Buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya, penerbit Ehipassikho)
Sumber: Facebook Kisah Buddhis

Motivasi Dalam Buddhisme

Pada umumnya motivasi yang muncul karena didasari kesadaran atau keinginan sendiri (dari dalam) akan lebih kuat dibandingkan motivasi yang dipaksakan orang lain, walaupun pada akhirnya motivasi tersebut bisa juga menjadi kuat setelah hasilnya dirasakan pelakunya. Lihat saja contoh Pangeran Siddharta, tidak ada orang lain yang mendorong Beliau untuk meninggalkan istananya yang mewah, isterinya yang cantik, dan anaknya yang baru lahir, demi mencari obat mujarab untuk mengakhiri penderitaan manusia.

Motivasi yang kuat ataupun lemah terlihat dari tingkah laku sehari-hari. Kebutuhan individu untuk berhasil merupakan salah satu bentuk stimulus/ rangsangan yang mendorong motivasi seseorang. � Stimulus adalah hal-hal yang menyebabkan bangkitnya atau timbulnya tanggapan-tanggapan atau tindakan-tindakan tertentu, sedangkan �Respons� adalah tindakan kita terhadap stimulus yang datang.

Berbagai faktor yang menentukan respon kita yaitu : kesadaran diri, imajinasi, hati nurani, dan kekuatan tekad. Agar lebih tepat dalam memilih respons tersebut kita harus menyadari perasaan, emosi, dan kondisi fisik kita, pengaruh dari luar, pengaruh respons kita terhadap kita sendiri maupun orang lain.

Berbagai hal yang dapat membantu dalam usaha meningkatkan kesadaran diri antara lain :

- Berbicara di depan cermin

- Merekam pembicaraan sendiri

- Meminta Umpan Balik

- Evalusai keyakinan, pandangan nilai dan perasaan

- Membuat catatan harian

Sumber �sumber referensi dapat berasal dari internal maupun eksternal. Yang paling besar pengaruhnya adalah referensi internal, yang lazim disebut sebagai pengalaman, karena memang merupakan hal yang dialami kita sendiri dari paradigma, dari pelajaran, dari visi dan misi pribadi kita. Oleh karena itu, referensi internal dapat diperkaya melalui banyak belajar, membaca, mengikuti pelatihan, pada saat bersamaan referensi eksternal jga diperkaya misalnya dengan pergaulan, atau menjadi anggota organisasi, semisal UKM Buddha, UKM Komputer dsb

Daya imajinasi dapat diolah dengan cara :

1. Melihat segala sesuatu dari segala sudut pandang, jangan hanya dari satu sudut saja
2. Mempertanyakan batasan-batasan yang ada, yang mungkin harus diterapkan
3. Hubungkan hal-hal yang mungkin tampaknya tidak berhubungan
4. Rileks dan tidak tegang (tense)
5. Jangan mengkritik ide-ide orang lain, sebaliknya seringlah bertukar ide dengan orang lain, karena saling bertukar ide dapat memperkaya semua pihak.

Hambatan ? Tentu, selalu ada saja hambatan atas usaha-usaha yang dilakukan. Kita bagaikan terjepit di bawah hambatan-hambatan tersebut. Untuk mengatasinya, tidak lain kita harus memperkuat faktor-faktor yang menjadi pendorong kita. Itulah kekuatan tekad, yang dapat dan harus diperbesar untuk melawan faktor-faktor penghambat.

Pada beberapa individu, terdapat kecenderungan untuk menghindar dari masalah yang timbul. Hal ini dikenal dengan istilah �Flight� atau melarikan diri dari masalah. Kebalikannya adalah �fight� atau menghadapi dan berusaha memecahkan masalah yang timbul, karena masalah adalah tantangan, yang jika dihadapi dengan benar dan tepat, dapat memperkuat kekuatan kita, dan sebaliknya, menghindari tantangan tanpa pernah berusaha sama sekali, akan memperlemah kita. Asalkan kita mau berusaha dan mencoba dengan tekad dan pikiran positif, tantangan seperti apapun beratnya, akan dihadapi dengan baik.

Kita baru mulai melangkah, diperlukan kegigihan luar biasa untuk mencapai keberhasilan, dan kita sendiri yang akan memetik buahnya kelak. Apa yang dilakukan jika semua usaha kita gagal ? Terimalah kenyataan dari kegagalan itu, dan berusahalah belajar dari kegagalan, jadikan kegagalan sebagai bahan evaluasi, intropeksi untuk meningkatkan diri di masa mendatang, sehingga kalaupun kita terjatuh, tidak akan menggelinding ke bawah, melainkan menggelinding ke atas. Penolakan kita atas kegagalan yang terjadi, tidak akan memperbaiki keadaan, melainkan memperlemah kita sendiri karena hati nurani tidak bisa dibohongi.

Suatu banyak contoh keberhasilan orang-orang besar yang memiliki motivasi luar biasa kuat walaupun pada awalnya mereka mengalami kegagalan, yang bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali, bahkan ada yang sampai puluhan kali.

Marilah kita senantiasa memupuk motivasi yang kuat sesuai Dhamma untuk menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan lebih baik lagi dalam hidup kita, sampai akhirnya mencapai kebahagiaan Nibbana.



Dikutip dari Majalah Permata Dhamma

_____________________________________________________________________________

YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya

Sirima (Kisah pelacur wanita yang sangat cantik)

Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima Berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain batapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.
Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipin belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.
Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, “Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!”. Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat
terhadapnya.
Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivika, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan buruk hering.
Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik
sudah tidak cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang.
Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi kekuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima.
Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia Sirima. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima.
Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yng menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail kemudian tawaran diturunkan menjadi 500, 250, 100 , 25 atau dengan cuma-cuam.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam
bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walau dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran.”
Bhikkhu muda itu kemudian mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah dhamma itu berakhir.
Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka terdiri dari rangkaian tulang,
berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap adanya.
(Dhammapada 147)

Kosiya (Orang Kaya yang kikir)

Di desa sakkara, dekat Rajagaha, tinggalah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lin, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.
Suatu pagi, Sang Buddha dengan pengelihatan supranaturalnya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliayu mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut, dengan pentunjuk untuk membawa mereka ke vihsra Jetavana pada saat makan siang.
Murid Utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan bathin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan beridiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: “Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakannya dipanggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka ia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil.
Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanaksn satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat dikeluarkan karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan kotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir berserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.
Maha Moggallana dengan kekuatan bathin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, unutk menghadap Sang Buddha. Disana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan kotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Keesokan sorenya, ketika para bhikkhu sedang bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelaluan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka atau kesejahteraan mereka”
"Bagaikan seokor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya: demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa”
(Dhammapada 49)

Tambadathika (Seorang penjagal istana)

Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh tahun dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelag mempersiapkan bubur nasi dirumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.
Pada waktu tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhanna Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat tambadathika melihat Sariputta Thera, tambadathika berpikir, “Meskipun salah hidupku saya telah menghukum mati para pencuri. Sekarang saya harus mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu.” Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut.
Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tetapi tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelias mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahuihal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri ats kehendaknya atau ia diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawb bahwa ia duperintahkan raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya, “Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?” Tambaddathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.
Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anulomaññana. Setelah kotbah Dhamma berakhir. Tabadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.
Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai sapi)
menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikhhu memberitahu beliau perihal kematian tambadathika. Ketika ditanya kemana tambadathika dilahirkan kembali. Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarkannya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.
Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin sesorang yang melakukan perbuatan jahat sepeti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.”
“Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang
bermanfaat, yang dapat memberikan kedamaian kepada pendengarnya”
(Dhammapada 100)

Sabtu, 05 Maret 2011

SANG BUDDHA DAN PETANI KASIBHARADVAJA

Suatu ketika, Sang Buddha berada di desa Ekanala, Magadha. Musim hujan telah tiba dan saat itu adalah saat menebar benih (padi). Pagi-pagi sekali di saat dedaunan masih basah oleh embun, Sang Buddha pergi ke sawah di mana Kasibharadvaja, seorang Brhamana yang petani, memiliki 500 bajak yang sedang dikerjakan. Ketika Sang Bhagava tiba, adalah saat Brahmana tersebut membagikan makanan kepada para pekerjanya. Sang Buddha menunggu di sanan untuk melakukan pindapata. Tetapi ketika Brahmana itu melihat Sang Buddha, ia mengejek dan berkata :
 “Saya  membajak dan menanam benih, dan setelah membajak dan menanam benih, saya makan. O Pertapa, Engkau juga harus membajak dan menanam, dan setelah membajak dan menanam, baru Engkau bisa makan”.
 “O Brahmana, Tathagata juga membajak dan menanam. Dan setelah membajak dan menanam, Tathagata makan”, jawab Sang Buddha.
 Dengan bingung Brahmana bertanya, “Engkau mengatakan bahwa Engkau membajak dan menanam, tapi saya tidak melihat Engkau membajak?”.
 Sang Buddha menjawab :
 “Tathagata menanam keyakinan sebagai benih-benihnya. Aturan disiplinKu adalah sebagai hujannya. KebijaksanaanKu adalah kuk dan bajaknya. KesederhanaanKu adalah kepala-bajaknya. PikiranKu adalah talinya, Kesadaran (sati)-Ku dalah mata bajak dan tongkatnya”.
 “Tathagata terkendali di dalam perbuatan, ucapan dan makanan. Tathagata melakukan penyiangan dengan kebenaran. Kebahagiaan yang Tathagata dapatkan adalah kebebasan dari penderitaan. Dengan tekun Tathagata memikul kuk/gandar hingga mencapai Nibbana. Dengan demikian Tathagata telah melaksanakan pekerjaan membajak. Ini menghasilkan buah Keabadian. Dengan pembajakan seperti ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan”. Setelah penjelasan ini, Brahmana tersebut menyadari kesalahannya, dan berkata, “Sudilah Yang Mulia Gotama makan nasi-susu ini. Yang mulia Gotama adalah seorang petani karena panennya menghasilkan buah Tanpa-kematian!” Setelah berkata demikian, Brahmana mengisi satu mangkuk besar dengan nasi-susu dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menolak makanan tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menerima makanan sebagai balasan/pembayaran dari pembabaran DhammaNya.
    Brahmana berlutut di kaki Sang Buddha dan memohon agar ditahbiskan menjadi anggota Persaudaraan para Bhikku. Tak berapa lama setelah itu, Kasibharadvaja menjadi Arahat.

Jumat, 04 Maret 2011

Nyanyian kemenangan Sang Buddha

Sang Buddha telah menahan serangan terburuk dari Mara. Akhirnya si Jahat Mara mundur dan amukan badai yang diciptakannya sirna. Sekarang batin Sang Bhagava tenang dalam kedamaian. Kegelapan yang pekat memudar dan bulan penuh serta bintang-bintang muncul kembali. Sang Bhagava masuk ke dalam meditasi yang dalam, melewati batas-batas pengertian manusia, melihat dunia sebagaimana apa adanya, tidak bagai apa penampakannya. Laksana seekor burung clang terbang melesat tinggi ke arah matahari dengan lemasnya, batin Beliau bergerak dengan cepat depan dan ke atas.

Beliau melihat kehidupan-kehidupan lampauNya dan seluruh kelahiran Beliau sebelumnya, dengan segala perbuatan yang balk maupun buruk beserta keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugiannya. Ketika batinNya melesat makin tinggi dan juga ke depan dengan cepat, Beliau melihat makhluk-mahluk lahir berulang-ulang dan mati sesuai dengan Kamma/perbuatan mereka.

Mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan baik dianugerahi dengan kelahiran di alam surga. Namun meskipun anugerah-anugerah/pahala ini lahirnya lebih lama daripada kesenangan-kesenangan duniawi, mereka tetap tidak kekal. Makhluk-makhluk yang menderita di alam neraka juga tan terus melanjutkan kehidupannnya di dalam lingkaran samsara. Semua mahluk hidup terperangkap di dalam dunia ketidaktahuan dan penderitaan.

Ketika pandangan Beliau menjadi jernih seperti kristal, Beliau melihat apa yang disebut jiwa dari manusia, yang diklaim oleh manusia sebagai dirinya/ milikya, hancur berkeping-keping dan tergeletak di belakang Beliau seperti helaian benang-benang yang terurai dari sepotong kain. Beliau melihat penyebab dari rantai kehidupan, yaitu Ketidaktahuan/kebodohan. Karena manusia bodoh, melekat kepada benda-benda yang tidak berharga, ia menciptakan ilusi-ilusi (yang sifatnya selalu berubah/tidak kekal itu) di dalam dirinya yang sernakin berbahaya. Tetapi bila nafsu keinginan ini mati, nafsu berakhir, kebodohan pun buyar seperti malam berlalu, dan matahari Pencerahan akan bersinar.

Dan setelah mengerti dunia dengan sebagaimana apa adanya, Sang Bhagava telah sempurna dalarn kebijaksanaanNya, Beliau tidak akan dilahirkan kembali. Nafsu-keinginan dan keinginan-keinginan jahat benar-benar telah dimusnahkan dengan sepenuhnya, seperti api yang padam karena tiadanya minyak.

Sang Buddha, Sang Sempurna, duduk bermandikan cahaya yang cemerlang dari Kebijaksanaan dan Kebenaran. Dan karena pencapaian Beliau ini, dunia menjadi tenang dan terang, serta hembusan bayu yang lembut meniup daun-daun Pohon Bodhi.

Dipenuhi dengan kewelas-asihan, Sang Buddha duduk di bawah Pohon Bodhi, dalam perenungan yang dalam tentang Dhamma. Beliau larut dalarn kebahagiaan, dalam kedamaian sempurna Nibbana. Pada waktu subuh sesudah Pencapaian PencerahanNya, Sang Buddha menguncarkan nyanyian kemenangan yang membahagiakan ini:

"Melalui banyak kelahiran dalam samsara. Aku mengembara
Mencari, tetapi tidak meraemukan si pembuat rumah ini.
Menyedihkan kelahirkan kelahiran yang berulang-ulang.
O pemhuat rumah, kini engkau telah terlihat,
Engkau tidak bisa membangun rumah lagi
Semun balok kasaumu telah patah, tiang-tiang bubunganmu telah hancur
Batin mencapai keadaan tanpa syarat
Tercapailah akhir dari keinginan ".

SILUMAN DI PADANG PASIR (Cara Berpikir yang Benar)

Pada suatu ketika ada 2 orang pedagang yang berteman. Keduanya siap melakukan perjalanan untuk menjual barang dagangan mereka, untuk itu mereka harus memutuskan apakah mereka akan berpergian bersama. Mereka setuju untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Karena masing-masing dari mereka memiliki sekitar 500 kereta dan mereka akan pergi ke tempat yang sama melalui jalan yang sama pula, maka akan menjadi terlalu ramai jika pergi bersamaan.

Salah seorang dari mereka memutuskan akan lebih baik jika ia pergi terlebih dahulu. Ia berpikir “Jalanan itu tidak akan dilalui oleh kereta-kereta, sehingga sapi-sapi jantan akan dapat memilih rumput terbaik, kami akan mendapatkan buah-buahan dan sayur-sayuran yang terbaik untuk dimakan, orang-orangku akan menghargai kepemimpinanku dan pada akhirnya, aku akan dapat menawar dengan harga-harga terbaik.

Si pedagang satunya betul-betul mempertimbangkan dengan hati-hati dan menyadari bahwa ada keuntungan-keuntungan dengan pergi setelahnya. Ia berpikir “Kereta-kereta temannya itu akan membuat tanah menjadi rata jadi mereka tidak harus melakukan pekerjaan jalan apa pun. Sapi-sapi jantan temannya akan makan rumput tua dan tunas-tunas baru akan tumbuh untuk sapi-sapinya makan, dengan cara yang sama rombongan teman-temannya akan memetik buah-buahan dan sayur-sayuran tua dan buah-buahan juga sayur-sayuran segar akan tumbuh untuk mereka nikmati. Aku tidak perlu menghabiskan waktuku untuk melakukan penawaran jika aku bisa mengambil harga yang sudah ditetapkan dan mendapatkan keuntungan. Untuk itu dia setuju membiarkan temannya untuk pergi terlebih dahulu. Temannya ini yakin bahwa ia telah membodohinya dan sudah mendapatkan yang terbaik untuk dirinya, jadi ia memulai perjalanannya terlebih dahulu.

Si pedagang yang pergi pertama mengalami kesulitan terlebih dahulu. Mereka datang ke sebuah daratan tandus yang disebut “Gurun Pasir Kering (Waterless Desert)” yang mana penduduk setempat mengatakan bahwa tempat itu dihantui oleh siluman-siluman. Ketika kafilah itu sampai di tengah-tengah gurun, mereka bertemu dengan rombongan dalam jumlah yang banyak datang dari arah yang berlawanan. Mereka memiliki kereta-kereta yang berlumuran lumpur dan tetesan air. Di kedua tangan dan kereta-kereta mereka terdapat bunga seroja dan teratai. Pemimpin mereka yang memiliki sikap serba tahu, berkata kepada Si Pedagang “Kenapa kau membawa muatan-muatan berat yang berisi air ini? Sebentar lagi kau akan mencapai sumber air di mana akan banyak air untuk diminum dan buah kurma untuk dimakan. Sapi-sapi jantanmu lelah karena menarik kereta-kereta berat yang diisi dengan tambahan air itu. Jadi buanglah air itu dan berbaik hatilah kepada hewan-hewanmu yang sudah terlalu banyak bekerja itu!”

Walaupun penduduk setempat sudah memperingatkannya, si Pedagang tidak menyadari bahwa mereka bukanlah manusia, tetapi siluman yang sedang menyamar. Bahkan Si Pedangang dan rombongannya terancam bahaya dari siluman-siluman yang ingin menyantap mereka. Karena merasa yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang suka menolong. Si Pedagang mengikuti nasehat mereka dan membuang semua airnya ke tanah.

Ketika si Pedagang dan rombongannya melanjutkan perjalanannya, mereka tidak menemukan sumber air atau air apa pun. Beberapa dari mereka menyadari bahwa mereka telah ditipu oleh makhluk yang kemungkinan adalah siluman-siluman, kemudian mulai menggerutu dan menyalahkan si Pedagang. Di hari terakhir semua orang-orang kelelahan. Sapi-sapi jantannya terlalu lemah untuk menarik kereta-kereta berat mereka karena kekurangan air. Semua orang-orang dan hewan-hewannya berbaring secara sembarangan dan jatuh dalam tidur yang lelap. Seketika itu juga, saat malam hari siluman-siluman itu datang dalam bentuk aslinya yang menakutkan dan menelan semua makhluk yang lemah dan tanpa perlawanan. Ketika mereka selesai memakannya yang tersisa hanyalah tulang-tulang yang tergeletak berserakkan. Tak ada satu pun manusia ataupun hewan tersisa hidup-hidup.

Setelah beberapa bulan, pedangang kedua memulai perjalanannya melalui jalan yang sama. Ketika ia sampai di gurun, dia mengumpulkan semua orang-orangnya dan memberikan mereka nasehat “Daerah ini disebut Gurun Pasir Kering dan aku sudah mendengar bahwa tempat ini dihantui oleh siluman-siluman dan hantu-hantu. Untuk itu kita harus berhati-hati. Karena kemungkinan ada tanaman-tanaman beracun dan air kotor. Jangan minum air apa pun dari tempat itu tanpa bertanya aku terlebih dahulu.” Dengan begitu mereka mulai memasuki gurun pasir.

Setelah berjalan kira-kira melewati setengah perjalanan, dengan cara yang sama seperti kafilah pertama, mereka bertemu siluman-siluman yang basah kuyup sedang dalam penyamaran. Siluman-siluman itu memberi tahu mereka bahwa sumber air sudah dekat dan mereka harus membuang semua air mereka. Tetapi Pedagang yang bijaksana ini segera mengatasi mereka. Si Pedagang tahu bahwa tidak masuk akal jika ada sumber air di tempat yang disebut sebagai ‘Gurun Pasir Kering’. Dan lagi pula, orang-orang ini memiliki mata merah yang menonjol keluar dan memiliki sikap agresif dan ambisius. Jadi ia mencurigai mereka kemungkinan adalah siluman-siluman. Si Pedagang memberitahukan mereka untuk meninggalkan rombongannya dengan berkata, “Kami adalah seorang pedagang yang tidak akan membuang air yang bersih sebelum kami tahu di mana air selanjutnya berasal.”

Kemudian, melihat orang-orangnya sendiri telah memiliki keraguan, Si Pedagang berbicara kepada mereka “Jangan percaya kepada orang-orang ini, mereka mungkin saja siluman-siluman, sampai kita benar-benar menemukan air. Sumber air yang mereka tunjukkan, kemungkinan hanyalah sebuah ilusi atau khayalan belaka. Apakah kau pernah mendengar adanya air di dalam Gurun Pasir Kering ini? Apakah kau merasakan hujan-angin atau awan mendung apa pun?” Mereka mengatakan “Tidak” dan Si Pedagang melanjutkan perkataannya, “Jika kita mempercayai orang-orang asing ini dan membuang semua air kita, nantinya kita mungkin tidak memiliki air apa pun untuk minum ataupun masak, lalu kita akan menjadi lemas dan kehausan, akan sangat mudah bagi siluman-siluman untuk datang dan merampok kita atau bahkan memakan kita! Untuk itu, sampai kita benar-benar menemukan air, jangan membuang-buangnya walaupun setetes!”

Kafilah itu melanjutkan perjalanannya dan pada sore hari itu mereka sampai di tempat di mana orang-orang dari kafilah pertama dan sapi-sapi jantannya telah dibunuh dan dimakan oleh siluman-siluman. Mereka menemukan kereta-kereta, tulang-tulang manusia dan hewan berserakan di sekitarnya. Mereka mengenali bahwa kereta-kereta yang penuh dengan muatan dan tulang-tulang yang berserakan itu adalah milik kafilah yang terlebih dahulu melanjutkan perjalanan. Si pedagang yang bijaksana memberitahukan orang-orang tertentunya untuk tetap berjaga-jaga di sekitar tenda pada waktu malam hari.

Pada pagi harinya rombongan itu bersantap pagi dan memberi makan sapi-sapi jantan mereka dengan sangat baik. Mereka menambahkan muatan mereka dengan barang-barang yang paling berharga yang ditinggalkan oleh kafilah pertama. Demikianlah mereka mengakhiri perjalanan mereka dengan sangat sukses dan kembali pulang dengan selamat, dengan begitu mereka dan keluarga mereka dapat menikmati keuntungan yang telah diperoleh.

Pesan moral: Seseorang harus selalu cukup bijaksana, tidak tertipu oleh kata-kata muslihat dan penampilan yang palsu.

Buddha Diam Kemurahan Hati

Dahulu kala, ada seorang yang sangat kaya yang hidup di Benares, India Utara. Ketika ayahnya meninggal, ia mewarisi harta yang lebih banyak lagi. la berpikir, "Mengapa aku harus menggunakan harta ini hanya untuk kebahagiaanku sendiri? Biarlah saudara-saudaraku yang lain juga ikut menikmatinya".

Jadi ia membangun ruang makan di empat penjuru kota ?Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Di aula-aula ini ia memberikan makanan gratis bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia menjadi sangat terkenal karena kedermawanannya. Demikian juga ia dan para pengikutnya terkenal sebagai pelaku 5 Langkah Latihan (Panca Sila).

Pada saat itu, ada seorang Buddha Diam yang bermeditasi di dekat hutan Benares. Beliau disebut Buddha karena beliau telah mencapai penerangan. Ini artinya beliau tidak lagi merasakan dirinya sendiri, yang disebut ‘aku?atau ‘saya? Yang ada hanyalah kehidupan itu sendiri. Jadi ia mampu menjalani kehidupan seperti apa adanya, pada setiap saat ini. Menjadi satu dengan kehidupan, beliau dipenuhi dengan belas kasih dan simpati terhadap penderitaan orang lain. Jadi beliau berkeinginan untuk mengajar dan membantu mereka untuk mencapai penerangan seperti dirinya. Tetapi pada waktu terjadinya cerita ini adalah waktu yang sangat menyedihkan. Waktu di mana tidak ada orang lain yang dapat mengerti tentang Kebenaran, serta menjalani kehidupan seperti yang terjadi. Dan karena Buddha tersebut mengetahui hal ini, beliau menjadi Diam. Sembari bermeditasi di hutan, Buddha Diam ini memasuki tahapan batin yang sangat tinggi. Konsentrasi beliau begitu tingginya sehingga beliau dapat bertahan dalam satu posisi selama 7 hari 7 malam, tanpa makan dan minum.

Ketika beliau telah kembali ke dalam keadaan biasa, beliau berada dalam keadaan kelaparan yang membahayakan. Pada waktu yang biasa, beliau pergi untuk berpindapatta di aula milik orang yang kaya raya tersebut.

Ketika orang kaya tersebut baru saja duduk untuk makan siang, ia melihat Buddha Diam datang dengan mangkoknya. Ia berdiri dari tempat duduk dengan hormat. Ia menyuruh pembantunya untuk pergi dan memberikan makanan kepada beliau.

Sementara itu, Mara, dewa kematian, terus mengintai. Mara adalah yang dipenuhi dengan keserakahan untuk menguasai semua makhluk. Ia hanya akan mendapatkan kekuatan ini dari rasa takut akan kematian.

Karena seorang Buddha hidup dengan damai pada setiap saat, beliau tidak lagi mempunyai keinginan untuk dilahirkan kembali, dan karenanya tidak takut akan kematian. Karena, Mara tidak dapat menguasai Buddha Diam, ia ingin menghancurkan beliau. Ketika ia melihat bahwa beliau berada dalam bahaya kematian akibat kelaparan, ia tahu bahwa kesempatannya telah datang. Sebelum pembantu itu dapat meletakkan makanan ke dalam mangkok Buddha Diam, Mara menciptakan selokan dalam dengan batubara menyala merah untuk tiba-tiba muncul memisahkan mereka. Tampak bagaikan jalan masuk ke neraka.

Ketika melihat hal ini, pembantu tersebut ketakutan setengah mati. Ia berlari kembali kepada tuannya. Orang kaya tersebut bertanya mengapa ia kembali tanpa memberikan makanan persembahan tersebut. Pembantu tersebut menjawab, "Tuanku, ada selokan dalam yang berisi penuh dengan batubara menyala merah tepat di hadapan Buddha Diam".

Orang kaya tersebut berpikir, "Orang ini pasti melihat yang bukan-bukan". Jadi ia mengirim pembantu yang lain untuk memberikan makanan persembahan tersebut. Pembantu yang ini pun ketakutan setengah mati karena selokan batubara tersebut. Beberapa pelayan diperintahkan, tetapi semuanya kembali karena ketakutan terhadap kematian.

Tuan tersebut berpikir, "Tidak ragu lagi, pasti Mara, dewa kematian, sedang mencoba untuk menghalangi perbuatan baikku memberikan persembahan makanan kepada Buddha Diam. Karena perbuatan baik adalah awal dari jalan menuju penerangan, Mara mencoba menghalangiku dengan berbagai cara. Tetapi ia tidak mengerti keyakinanku kepada Buddha Diam, dan kuatnya keinginanku untuk memberi".

Jadi ia sendiri mengambil makanan persembahan tersebut untuk diberikan kepada Buddha Diam. Ia juga melihat selokan dengan batubara menyala merah. Kemudian ia melihat ke atas dan melihat Dewa Kematian yang mengerikan, melayang di udara. Ia bertanya, "Siapa kamu?" Mara menjawab, "Aku adalah Dewa Kematian!"

"Apakah kamu yang menciptakan selokan api ini?" tanya orang itu. "Ya, memang begitu", kata dewa tersebut. "Mengapa kamu lakukan itu?" "Untuk mencegahmu memberikan persembahan makanan, dengan begitu akan mengakibatkan Buddha Diam mati kelaparan! Dan juga untuk mencegah perbuatan baikmu itu menolongmu mencapai penerangan, jadi kamu akan tetap berada dalam kekuasaanku!" Orang kaya dari Benares itu menjawab, "Oh Mara, dewa kematian, yang jahat, kamu tidak dapat membunuh Buddha Diam, dan kamu tidak dapat mencegah perbuatan baikku! Marilah kita lihat niat siapa yang lebih kuat!"

Kemudian ia melihat selokan yang membara tersebut, dan berkata kepada Yang telah Mencapai Penerangan, yang tenang dan lembut, "Oh, Buddha Diam, biarlah sinar Kebenaran terus bersinar sebagai contoh bagi kami. Terimalah persembahan untuk hidup ini!" Dengan berkata demikian, ia sama sekali melupakan dirinya sendiri, dan pada saat itu pula tidak ada lagi rasa takut akan kematian. Tepat sesaat ia melangkahkan kakinya ke dalam selokan membara itu, ia merasa dirinya diangkat oleh setangkai bunga teratai yang sejuk. Mahkota bunga tersebut mekar di udara, dan memenuhinya dengan wama keemasan. Sembari berdiri di tengah bunga teratai ini, makhluk hebat ini ,menuangkan makanan persembahan ke dalam mangkok Buddha Diam. Mara—dewa kematian—telah dikalahkan!

Sebagai tanda terima kasih atas pemberian ini, Buddha Diam mengangkat tangannya memberikan berkat. Orang kaya ini menunduk dengan hormat, menyatukan kedua belah telapak tangannya di atas kepala. Kemudian Buddha Diam tersebut pergi dari Benares, dan pergi menuju ke hutan Himalaya.

Masih berdiri di tengah teratai yang indah tersebut, dengan sinar yang keemasan, tuan yang murah hati tersebut mengajar para pengikutnya. Ia mengatakan kepada mereka bahwa berlatih 5 Langkah Latihan (Panca Sila) penting artinya untuk memurnikan batin. Ia mengatakan bahwa dengan batin yang murni, akan ada manfaat yang besar dalam memberikan persembahan –yang benar-benar merupakan suatu pemberian kehidupan! Ketika ia telah selesai mengajar, selokan membara tersebut menghilang dan teratai yang sejuk itu pun menghilang.

PESAN :
JANGANLAH MEMPUNYAI RASA TAKUT KETIKA MELAKUKAN PERBUATAN-PERBUATAN YANG BAIK.