Selasa, 08 Maret 2011

ARAKA - JATAKA (Kisah Mengenai Welas Asih)

Pada suatu kesempatan Sang Bhagava berkata demikian pada Sangha, "Para Bhikkhu, kemurahan hati (welas asih) yang dipraktekan dengan segenap pikiran, dimeditasikan, diperbesar, dijadikan alat kemajuan, dijadikan obyek tunggal, dilatih, dan dimulai dengan baik dapat diharapkan untuk menghasilkan sebelas berkah.

"Apakah kesebelasan berkah itu? Ia tidur dengan gembira dan bangun dengan gembira; ia tidak mengalami mimpi buruk; orang-orang menyukainya; para makhluk halus menjaganya; api, racun, dan pedang tidak mendekatinya; mudah diingat; pembawaannya menjadi tenang; ia mati tanpa perasaan takut; tanpa memerlukan kebijaksanaan lebih lanjut ia mencapai surga Brahma. Kemurahan hati, para bhikkhu, yang dilakukan tanpa mengenal kehendak" dan seterusnya. "Dapat diharapkan untuk menghasilkan sebelas berkah. Sambil memuji kemurahan hati yang berisi sebelas berkah ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya bermurah hati kepada semua makhluk, disuruh atau tidak, ia seharusnya menjadi sahabat orang yang ramah, juga menjadi sahabat orang yang tidak ramah, dan menjadi sahabat orang yang acuh tak acuh. Jadi kepada semua tanpa perbedaan, disuruh atau tidak, di harus bermurah hati; ia harus bersimpati terhadap kesenangan atau kesusuhan dan melatih kesabaran; ia harus melakukan pekerjaanya dengan empat kebaikan. Dengan berbuat demikian ia akan sampai ke surga Brahma walaupun tanpa jalan atau buah. Para bijaksana dengan mengembangkan welas asih selama tujuh tahun, telah berdiam di surga Brahma selama tujuh jaman, masing-masing dengan satu masa berkembang dan satu masa menyusut "] Dan ia menceritakan kepada mereka sebuah kisah di masa lalu.

Pada suatu ketika, di zaman yang lalu, Sang Bodhisattva terlahir di keluarga Brahmin. Setelah dewasa, ia melenyapkan napsunya dan menjalani kehidupan religius,serta mencapai empat kebaikan. Ia bernama Araka, dan menjadi seorang guru yang tinggal di daerah Himalaya dengan pengikut yang banyak. Ia memberi nasehat kepada para bijaksana pengikutnya, "Seorang yang mengasingkan diri (pertapa) harus menunjukan welah asih, bersimpati (turut merasakan) dalam kesenangan maupun kesusuhan, dan penuh kesabaran karena rasa welas asih yang dicapai dengan penuh tekad mempersiapkannya menuju surga Brahma. " Dan untuk menjelaskan berkah dari welas asih, ia melantunkan sajak berikut ini:

"Hati yang memiliki welas asih tanpa batas kepada semua yang terlahir.

Di surga, di alam bawah, dan di bumi.

Penuh dengan rasa welas asih tak terbatas, kemurahan hati tanpa batas.

Di dalam hati yang demikian takkan ada perasaan sempit atau terkurung."


Demikianlah uraian Sang Bodhisattva kepada para muridnya mengenai pengalaman welas asih dan berkahnya. Dan ia seketika terlahir di surga Brahma, selama tujuh zaman, masing-masing dengan masa berkembang dan menyusut, ia tidak kembali lagi ke dunia ini. Setelah selesai berkhotbah, Sang Bhagava mengindentifikasi kelahiran tersebut, "Para bijaksana pada saat itu sekarang adalah para pengikut Buddha;dan saya sendiri adalah Sang Guru Araka."
"Sampah menjadi Emas, Emas menjadi Cinta Kasih"

"Orang yang mempunyai kedua tangan tetapi malas, mabuk-mabukan, merugikan orang lain tidak lebih baik dari orang yang tidak mempunyai tangan"

"Untuk menghapus malapetaka di dunia, harus dimulai dari memperbaiki kondisi hati manusia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar