Senin, 08 Agustus 2011

Anak Muda dan Hantu


Pada saat itu Sang Buddha sedang bersemayam di Vihara Jetavana, Savatthi. Ada seorang
pemahat kayu yang mempunyai seorang anak laki-laki. Mereka tinggal di Rajagaha. Anak
pemahat kayu ini mempunyai seorang teman yang umurnya sebaya, kedua anak itu selalu
menggunakan seluruh waktu luangnya untuk bermain bola.
Pemahat kayu ini adalah pengikut setia Sang Buddha, demikian pula anaknya. Tetapi teman
anak muda itu adalah anak seorang pertapa. Anak pemahat kayu ini selalu melatih meditasi
terhadap Sang Buddha dalam setiap tindakannya, kalau ia melempar bola ia selalu berkata :
"Terpujilah Sang Buddha!" dengan konsentrasi penuh. Tetapi temannya selalu
mengucapkan pujian terhadap para pertapa dan kalau ia melempar bola ia selalu berkata :
"Terpujilah Sang Pertapa".
Ketika mereka bermain bola, anak pemahat kayu yang setia kepada Sang Buddha selalu
menang dan sebaliknya anak pertapa itu selalu kalah. Anak pertapa itu lalu memperhatikan
kelakuan temannya, ia lalu berpikir :
"Temanku ini selalu mempraktekkan segala sesuatunya dalam bentuk meditasi, ia selalu
mengucapkan kata-kata itu bila ia melempar bola. Apa yang dia lakukan selalu lebih baik dari
pada saya. Ah, saya ingin mengikutinya." Sejak saat itu ia mulai membiasakan dirinya untuk
melatih meditasi terhadap Sang Buddha.
Pada suatu hari, si pemahat kayu menyiapkan kereta yang dihela oleh seekor sapi untuk
mengambil kayu bakar di hutan. Ia mengajak anaknya untuk ikut bersamanya. Dalam
perjalanan pulang, setelah selesai mengambil kayu bakar di hutan, di pinggir sebuah kota, ada
sebidang tanah kosong. Disana terdapat air yang dapat digunakan untuk minum, jadi ia
melepaskan sapinya untuk minum. Mereka sendiri melepaskan lelah sambil menghabiskan
perbekalan makanan mereka.
Ketika malam tiba, ternyata sapi mereka mengikuti sekawanan binatang yang memasuki
kota. Dengan membawa keretanya, anak muda itu mencari sapinya yang hilang. Setelah
menemukan sapinya, ia hendak pulang dan keluar dari kota itu. Namun ternyata ia tidak
menemukan pintu kota. Pintu kota sudah ditutup. Karena hari sudah menjelang tengah malam
dan ia sangat lelah, akhirnya anak muda itu berbaring di bawah keretanya dan tertidurlah ia.
Pada waktu itu, penduduk Rajagaha sedang dicengkeram ketakutan karena ada beberapa
hantu yang selalu mengganggu ketentraman mereka. Tanah yang ditempati anak muda itu,
adalah tempat hantu-hantu itu berkumpul. ketika anak muda tertidur di sana, dua hantu
melihatnya. Salah satu dari hantu itu mempunyai pandangan salah dan hantu yang lain
mempunyai pandangan kolot. Hantu yang mempunyai pandangan salah itu berkata kepada
temannya :
"Orang ini mangsa kita, mari kita makan!"
Hantu kolot itu menjawab :
"Cukup! Buang jauh-jauh pikiran jelekmu itu!"
Sebaliknya, hantu yang kolot itu malah menjaga anak muda tersebut. Tetapi temannya yang
berpandangan salah tidak dapat menerima kata-katanya, ia lalu memegang kaki anak muda itu
dan mencoba untuk melemparkannya.
Sebagaimana latihan meditasi yang selalu dipraktekkannya, ketika kakinya dipegang, anak
muda itupun berteriak :
"Terpujilah Sang Buddha"
Hantu-hantu itu amat kaget, mereka ketakutan dan mundur ke belakang. Hantu yang kolot itu
berkata :
"Kita telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak kita lakukan. Kita harus menerima
hukumannya."
Setelah berkata demikian, hantu yang kolot itu berjaga-jaga di sekitar anak muda itu. Hantu
yang lain lalu memasuki kota menuju istana. Ia mengambil piring emas raja dan memenuhinya
dengan makanan dan membawanya kembali ke tempat anak muda itu tertidur. Kedua hantu
itupun melayani anak muda tersebut. Dengan mewujudkan diri sebagai ayah dan ibunya,
mereka membangunkannya, menyediakan makanan dan menyuruhnya makan.
Dengan kekuatan gaib yang dimilikinya sebagai hantu, mereka menulis surat di atas piring
emas raja, menceritakan apa yang telah mereka lakukan dengan berkata :
"Hanya rajalah yang dapat membaca kata-kata di atas piring ini. Orang lain tidak dapat
membacanya."
Mereka meletakkan piring tersebut di dalam kereta anak muda itu, dan berjaga-jaga di
sekitar tempat itu. ketika menjelang pagi mereka pun pergi.
Pagi harinya beredar berita :
"Piring Raja hilang dicuri orang. Cari pencurinya!"
Pintu kota segera ditutup, dan para penduduk pun mencari piring itu ke pelosok kota. Tetapi
mereka tidak dapat menemukannya. Mereka terus mencari. Ke luar kota, kemana saja, dan
akhirnya piring Raja itu ditemukan di dalam kereta kayu si anak muda.
Anak muda itu ditahan, ia dituduh sebagai pencuri piring emas raja. "Inilah pencurinya!"
Mereka membawa anak muda itu ke istana, menghadap raja. Ketika raja membaca surat
yang ditulis oleh hantu di atas piring itu, ia bertanya kepada anak muda itu :
"Anakku, apa artinya ini?"
"Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab anak itu.
"Ibu dan ayah saya datang tadi malam. Mereka membawakan saya makanan dan berjagajaga
di sekitar saya. Saya pikir 'Ayah dan ibu saya ini pasti melindungi saya dari kejahatan,
membebaskan saya dari ketakutan', sehingga saya tertidur. Hanya itu yang saya tahu, Tuanku."


Pada saat itu pula, ayah dan ibu anak muda itu datang ke istana. Ketika Raja mendengar apa
yang telah terjadi, ia membawa ketiganya pergi bersamanya menghadap Sang Buddha, dan
menceritakan seluruh kejadian itu.
"Yang Mulia," tanya raja, "Apakah meditasi kepada Sang Buddha merupakan suatu
perlindungan? Ataukah meditasi kepada AjaranMu dan bentuk-bentuk meditasi lainnya juga
merupakan perlindungan?"
Sang Buddha menjawab :
"Yang Mulia Raja, meditasi kepada Buddha bukan hanya berarti perlindungan saja. Tetapi
siapa saja yang melatih meditasi dengan disiplin, melatih salah satu diantara Enam Bentuk
Meditasi, ia tidak lagi memerlukan perlindungan lainnya atau mencari pertahanan dari
serangan-serangan luar."
Setelah berkata demikian, Sang Buddha lalu menjelaskan Enam Bentuk Meditasi dengan
mengucapkan syair-syair ini :
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 7 )
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 8 )
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 9 )
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 10 )
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 11 )
"Para siswa Gautama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan
malam mereka bergembira dalam ketentraman samadhi."
( Dhammapada, Pakinnaka Vagga no. 12 )
Murid Pemberontak

Ketika itu Yang Mulia Kassapa sedang berdiam di Gua Pipphali. Ia mempunyai dua orang
murid yang selalu melayaninya. Salah seorang muridnya amat setia dan selalu melaksanakan
tugasnya dengan baik. Tetapi murid yang satunya, selalu lalai dan malas dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Ia selalu mengambil keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan oleh temannya,
dengan mengakui pekerjaan temannya sebagai pekerjaannya sendiri.
Contohnya, apabila temannya telah menyediakan air untuk mencuci muka dan menyiapkan
tusuk gigi, kalau ia tahu, murid yang tidak setia ini akan melaporkan kepada Gurunya, dengan
berkata :
"Yang Mulia, air untuk mencuci muka sudah tersedia, dan ini tusuk giginya. Silahkan
mencuci muka"
Apabila waktunya untuk mandi tiba, ia juga akan melakukan taktik yang sama.
Murid yang setia, melihat tingkah laku temannya yang mencari keuntungan untuk dirinya
sendiri, lalu berpikir :
"Temanku ini selalu melalaikan pekerjaannya dan selalu mencari keuntungan dari apa yang
saya kerjakan. Baiklah, saya akan memperhatikannya".
Ketika murid yang malas ini tertidur sesudah makan siang, ia lalu memanaskan air untuk
mandi, dan menuangkannya ke dalam tempayan air di ruang belakang. Ia hanya menyisakan
sedikit air dalam ketel.
Sore harinya ketika murid yang malas ini bangun, ia melihat air di dalam ketel itu sudah
panas, ia pikir :
"Pasti teman saya ini sudah memanaskan air dan menaruhnya di kamar mandi".
Jadi ia cepat-cepat menghadap Gurunya, sambil berlutut ia berkata:
"Yang Mulia, air untuk mandi sudah tersedia di kamar mandi, silahkan mandi".
Setelah berkata demikian, ia mengiringi Gurunya ke kamar mandi.
Tetapi Yang Mulia Kassapa melihat air mandinya tidak ada, ia bertanya :
"Muridku, dimana air mandinya?".
Si murid lalu pergi ke dapur, dan ia melihat air yang ada di dalam ketel itu hampir kosong.
"Lihat apa yang dilakukan olehnya!", ia amat marah.
"Ia dengan sengaja mengisi ketel itu dengan sedikit air, dan menaruhnya di atas tungku,
kemudian ia pergi, kemanakah dia? Saya pikir air mandinya sudah penuh, sehingga saya katakan
kepada Yang Mulia, air mandi sudah tersedia".
Dengan rasa marah ia mengambil kendi dan menuju ke sungai. Ketika si murid yang malas itu
kembali dan menuangkan air ke bak mandi, Yang Mulia Kassapa berpikir :
"Saya kira anak muda itu telah memanaskan air untuk saya, ketika ia datang dan mengatakan
airnya sudah siap di kamar mandi, silahkan mandi. Tetapi sekarang, dengan penuh kejengkelan,
ia mengambil kendi dan mengisinya di sungai. Apa artinya ini?".
Sesudah mempertimbangkan beberapa hal, Yang Mulia Kassapa sampai pada suatu kesimpulan,
"Selama ini anak muda ini selalu melalaikan tugas-tugasnya, dan mengambil keuntungan dari
pekerjaan yang dilakukan oleh temannya".
Pada waktu murid yang malas itu kembali dan duduk, Yang Mulia Kassapa menegurnya dengan
berkata :
"Muridku, seorang bhikkhu seharusnya tidak mengatakan bahwa saya telah melakukan suatu
pekerjaan, kalau ia tidak betul-betul mengerjakannya. Contohnya, kamu baru saja datang pada
Sang Buddha Pelindungku II hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
2
saya dan berkata, "Yang Mulia, air sudah tersedia di kamar mandi, silahkan mandi", tetapi ketika
saya masuk ke kamar mandi airnya tidak ada, dan dengan penuh kejengkelan kamu mengambil
kendi dan pergi ke luar. Seseorang yang sudah menjadi bhikkhu seharusnya tidak melakukan hal
itu".
Murid itu amat tersinggung, ia lalu berkata sendiri :
"Lihat apa Yang Mulia perbuat! Mengapa ia berkata begitu hanya karena air mandinya
sedikit".
Hari-hari berikutnya ia menolak untuk berkumpul dengan para bhikkhu lain, untuk duduk
bersama Gurunya dalam suatu ruangan.
Suatu ketika ia pergi mengunjungi rumah pengikut Yang Mulia Kassapa. Umat itu bertanya :
"Yang Mulia, dimanakah Guru Anda?".
"Oh, Yang Mulia Kassapa sedang tidak sehat, jadi Beliau berdiam di Vihara".
"Bagaimana keadaan Beliau sekarang?".
"Berikanlah makanan untuknya, supaya Beliau sehat kembali", kata murid itu seolah-olah
Gurunya memintanya untuk berbuat demikian.
Dengan segera beberapa umat membuatkan makanan seperti yang diminta, dan memberikan
pada si murid untuk disampaikan kepada Yang Mulia Kassapa. Si murid itu lalu mengambil
makanan itu, tetapi dimakannya sendiri dalam perjalanan pulang menuju Vihara.
Suatu ketika, Yang Mulia Kassapa menerima jubah dari para pengikutnya. Jubah itu
ukurannya amat besar, Beliau menghadiahkan jubah itu kepada murid yang menyertainya, ia lalu
mencelup jubah itu dan mengubahnya menjadi jubah yang ukurannya sesuai dengan tubuhnya.
Beberapa hari kemudian Yang Mulia Kassapa mengunjungi rumah umat-umatnya.
"Yang Mulia", kata mereka,
"Muridmu mengatakan pada kami, bahwa Yang Mulia tidak sehat dan segera kami buatkan
makanan seperti yang diusulkannya, dan mengirimkan kepada Yang Mulia. Ternyata sesudah
makan makanan itu, Yang Mulia sehat kembali".
Mendengar hal itu Yang Mulia Kassapa hanya diam saja.
Malam harinya, murid yang tidak setia itu datang. Setelah menghormat, ia pun duduk. Yang
Mulia Kassapa lalu berkata :
"Muridku, saya mendapat informasi tentang hal yang telah kamu lakukan beberapa hari yang
lalu. Bukanlah tingkah laku yang baik bagi orang yang telah meninggalkan keduniawian. Kamu
seharusnya tidak boleh makan makanan yang kamu peroleh dengan memberikan penjelasan yang
keliru pada orang lain".
Si murid yang tidak setia itu amat marah. Iapun menyusun rencana untuk membalas dendam
pada Gurunya. Ia berkata sendiri :
"Beberapa hari yang lalu, hanya karena air mandinya sedikit, ia katakan saya ini pembohong.
Hari ini, hanya karena saya makan makanan dari umatnya yang diberikan kepada saya, ia katakan
'seharusnya kamu tidak makan makanan yang kamu peroleh dengan memberikan penjelasan yang
keliru pada orang lain'. Disamping itu, Beliau memberikan satu set jubah kepada muridnya yang
lain. Oh, Yang Mulia telah memperlakukan saya dengan amat buruk! Saya akan mencari jalan
untuk menghancurkanNya!".
Keesokkan paginya, ketika Yang Mulia Kassapa pergi ke desa berpindapatta, murid yang
tidak setia itu tinggal sendirian di Vihara. Ia mengambil tongkat, menghancurkan semua
perabotan yang ada, yang biasa digunakan untuk makan dan minum, lalu membakar pondok
tempat tinggal Gurunya. Barang yang tidak habis terbakar, dihancurkannya dengan palu. Lalu
iapun melarikan diri.
Ketika mati, ia terlahir kembali di neraka yang paling dalam, yaitu Neraka Avici, karena
Sang Buddha Pelindungku II hal.
Sumber: website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
3
menerima semua akibat perbuatan buruk yang telah dilakukannya.